Pro kontra masalah status kedua orang tua Nabi akhir-akhir
ini menjadi buah bibir media sosial. Sebagai seorang muslim, mari kita semua
menimbangnya dengan dalil bukan dengan perasaan semata. Mari cermati dua hadits
yang merupakan landasan dasar masalah ini:
Dalil pertama:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا
قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَيْنَ أَبِيْ؟ قَالَ: فِي
النَّارِ. فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ:
إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي
النَّارِ
Dari Anas, bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada
Rasulullah, “Wahai Rasulullah, di manakah tempat ayahku (yang telah meninggal)
sekarang berada?” Beliau menjawab, “Di neraka.” Ketika orang tersebut
menyingkir, maka beliau memanggilnya lalu berkata, “Sesungguhnya ayahku dan
ayahmu di neraka” (HR. Imam Muslim dalam Shahîh-nya (203).
Dalil Kedua:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ a قَالَ:
زَارَ النَّبِيُّ n قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى
وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ:
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِيْ أَنْ
أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ
لِيْ وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِيْ أَنْ أَزُوْرَ
قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِيْ فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Dari Abu Hurairah berkata, “Nabi pernah menziarahi kubur
ibunya, lalu beliau menangis dan membuat orang yang berada di sampingnya juga
turut menangis kemudian beliau bersabda, ‘Saya tadi meminta izin kepada Rabbku
untuk memohon ampun baginya (ibunya) tetapi saya tidak diberi izin, dan saya
meminta izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya (ibunya) kemudian Allah
memberiku izin. Berziarahlah karena (ziarah kubur) dapat mengingatkan kematian.’”
(HR. Imam Muslim dalam Shahîh-nya (976–977).
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata mengomentari
hadits ini:
“Ketahuilah wahai
saudaraku seislam bahwa sebagian manusia sekarang dan sebelumnya juga, mereka
tidak siap menerima hadits shahih ini dan tidak mengimani kandungannya yang
menegaskan kufurnya kedua orangtua Nabi. Bahkan sebagian kalangan yang dianggap
sebagai tokoh Islam mengingkari hadits ini berikut kandungannya yang sangat
jelas.
Menurut saya,
pengingkaran seperti ini pada hakikatnya juga tertuju kepada Rasulullah yang
telah mengabarkan demikian, atau minimal kepada para imam yang meriwayatkan
hadits tersebut dan menshahihkannya. Dan ini merupakan pintu kefasikan dan
kekufuran yang nyata karena berkonsekuensi meragukan kaum muslimin terhadap
agama mereka, sebab tidak ada jalan untuk mengenal dan memahami agama ini
kecuali dari jalur Nabi sebagaimana tidak samar bagi setiap muslim.
Jika mereka sudah
tidak mempercayainya hanya karena tidak sesuai dengan perasaan dan hawa nafsu
mereka maka ini merupakan pintu yang lebar untuk menolak hadits-hadits shahih
dari Nabi. Sebagaimana hal ini terbukti nyata pada kebanyakan penulis yang
buku-buku mereka tersebar di tengah kaum muslimin seperti al-Ghazali,
al-Huwaidi, Bulaiq, Ibnu Abdil Mannan, dan sejenisnya yang tidak memiliki
pedoman dalam menshahihkan dan melemahkan hadits kecuali hawa nafsu mereka
semata.
Dan ketahuilah
wahai saudaraku muslim yang sayang terhadap agamanya bahwa hadits-hadits ini
yang mengabarkan tentang keimanan dan kekufuran seseorang adalah termasuk
perkara ghoib yang wajib untuk diimani dan diterima dengan bulat. Allah
berfirman:
الٓمٓ ﴿١﴾ ذَٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا
رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ
هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ
بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَـٰهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾
“Alif lâm mîm.
Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka”
(QS. al-Baqarah [2]: 1–3)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍۢ
وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ
وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ
لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ
وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـٰلًۭا مُّبِينًۭا
﴿٣٦﴾
“Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (QS.
al-Ahzâb [33]: 36)
Maka berpaling
darinya dan tidak mengimaninya berkonsekuensi dua hal yang sama-sama pahit
rasanya. Pertama: Mendustakan Nabi. Kedua: Mendustakan para perawi hadits yang
terpercaya.
Dan tatkala
menulis ini, saya tahu betul bahwa sebagian orang yang mengingkari hadits ini
atau memalingkan maknanya dengan maka yang batil seperti as-Suyuthi—semoga
Allah mengampuninya—adalah karena terbawa oleh sikap berlebih-lebihan dalam
mengagungkan dan mencintai Nabi, sehingga mereka tidak terima bila kedua
orangtua Nabi seperti yang dikabarkan oleh Nabi, seakan-akan mereka lebih
sayang kepada orangtua Nabi daripada Nabi sendiri!!!” (Silsilah al-Ahâdits
ash-Shahîhah no. 2592)
Sebenarnya ucapan para ulama salaf tentang aqidah ini banyak
sekali. Namun, cukuplah kami nukil di sini ucapan al-Allamah Ali bin Sulthan
Ali al-Qari,
“Telah bersepakat
para ulama salaf dan khalaf dari kalangan sahabat, tabi’in, imam empat, dan
seluruh ahli ijtihaj akan hal itu (kedua orangtua Nabi di neraka) tanpa ada
perselisihan orang setelah mereka. Adapun perselisihan orang setelah mereka
tidaklah mengubah kesepakatan ulama salaf.” (Adillah Mu’taqad Abi Hanifah fi
Abawai Rasul, hlm. 84).
Kalau ada yang mengatakan bahwa keyakinan/aqidah bahwa kedua
orangtua Nabi di neraka termasuk kurang adab terhadap Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam.
Kita jawab:
Beradab terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang
sebenarnya adalah mengikuti perintahnya dan membenarkan haditsnya, sedang
kurang adab terhadap Rasulullah adalah apabila menyelisihi petunjuknya dan
menentang haditsnya. Allah berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُقَدِّمُوا۟ بَيْنَ
يَدَىِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ
وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ
ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌۭ ﴿١﴾
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Hujurât: 1)
Alangkah bagusnya perkataan Syaikh Abdurrahman al-Yamani
tatkala mengomentari hadits ini, “Seringkali kecintaan seseorang tak dapat
dikendalikan sehingga dia menerjang hujjah serta memeranginya. Padahal orang
yang diberi taufik mengetahui bahwa hal itu berlawanan dengan mahabbah (cinta)
yang disyari’atkan. Wallahul Musta’an”.
Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini berkata, “Termasuk kegilaan,
bila orang yang berpegang teguh dengan hadits-hadits shahih disifati dengan
kurang adab. Demi Allah, seandainya hadits tentang Islamnya kedua orangtua Nabi
shahih, maka kami adalah orang yang paling berbahagia dengannya. Bagaimana
tidak, sedangkan mereka adalah orang yang paling dekat dengan Nabi yang lebih
saya cintai daripada diriku ini. Allah menjadi saksi atas apa yang saya
ucapkan. Tetapi kita tidaklah membangun suatu ucapan yang tidak ada dalilnya
yang shahih. Sayangnya, banyak manusia yang melangkahi dalil shahih dan
menerjang hujjah. Wallahul Musta’an” (Lihat Majalah at-Tauhîd, Mesir, edisi
3/Rabi’ul Awal 1421 hlm. 37).
Sumber Muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar