Ibadah sunnah adalah ibadah yang tidak wajib dikerjakan.
Apabila menghendaki, seseorang bisa melaksanakannya, dan jika tidak
menghendaki, dia bisa saja tidak melaksanakannya. Dan ketika seseorang
melaksanakan atau menyelesaikan ibadah sunnah dengan ikhlas, maka dia berhak
mendapatkan pahala.
Yang menjadi masalah adalah, apabila seseorang sudah masuk
dalam rangkaian ibadah sunnah, apakah dia harus menyelesaikan, ataukah boleh
untuk dibatalkan tanpa alasan?
Misalnya, seseorang ingin melaksanakan shalat sunnah dua
raka’at. Setelah dia mendapatkan satu raka’at, apakah dia boleh membatalkan
ibadah shalat sunnah tersebut? Contoh lainnya, seseorang ingin melaksanakan
ibadah puasa sunnah dan niat di malam hari atau makan sahur. Dan sekarang dia
berada di pertengahan siang, jam 13.00. Apakah dia boleh membatalkan ibadah
puasa sunnah tersebut?
Dua pendapat ulama dalam masalah ini
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Yaitu, apakah
amal ibadah sunnah itu berubah status menjadi wajib ketika seseorang sudah
masuk (sudah memulai) mengerjakannya?
Para ulama madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa meninggalkan
ibadah sunnah itu tidak mengapa, yaitu ketika sebelum mengerjakannya. Adapun
ketika seorang mukallaf itu sudah mulai mengerjakan ibadah sunnah, berubahlah
hukumnya menjadi sebuah keharusan untuk disempurnakan sampai selesai, seperti
ibadah wajib. Sehingga dia tidak boleh membatalkan ibadah sunnah tersebut di
tengah-tengah pelaksanannya. Apabila dia sengaja membatalkan, maka dia harus
meng-qadha’ (mengulang ibadah sunnah tersebut di waktu lainnya).
Ulama Hanafiyyah berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul, dan janganlah kamu membatalkan amal-amal kalian.”
(QS. Muhammad [47]: 33)
Adapun jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa ibadah
sunnah itu tidaklah menjadi wajib ketika seseorang sudah masuk atau mulai
mengerjakannya, sehingga boleh untuk ditinggalkan (dibatalkan) kapan saja dia
kehendaki di tengah-tengah pelaksanaannya. Dikecualikan dalam masalah ini
adalah ibadah haji dan umrah sunnah, yang wajib disempurnakan sampai selesai.
Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan pendapat jumhur
ulama tersebut.
Pertama, hadits dari Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha, bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumahnya dan meminta air
lalu meminumnya. Kemudian beliau menyodorkan kepadanya, lalu dia pun
meminumnya.
Ummu Hani’ radhiyallahu ‘anha berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya saya sedang berpuasa.”
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
الصَّائِمُ
الْمُتَطَوِّعُ أَمِينُ نَفْسِهِ إِنْ
شَاءَ صَامَ وَإِنْ شَاءَ
أَفْطَرَ
“Orang yang berpuasa sunnah lebih
berhak atas dirinya. Jika dia mau, dia bisa menyempurnakan (menyelesaikan)
puasanya. Dan jika dia mau, dia boleh membatalkan puasanya.” (HR. Tirmidzi no.
732 dan Ahmad no. 26370, dinilai shahih oleh Al-Albani)
Hal ini juga menjadi perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Pada suatu hari,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Wahai ‘Aisyah,
apakah kamu mempunyai makanan?” ‘
‘Aisyah menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda,
فَإِنِّي
صَائِمٌ
“Kalau begitu, aku akan berpuasa.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
keluar. Tidak lama kemudian, saya diberi hadiah berupa makanan -atau dengan
redaksi: seorang tamu mengunjungi kami-.
‘Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali, saya pun berkata, “Ya Rasulullah, tadi
ada orang datang memberi kita makanan dan aku simpan untukmu.”
Beliau bertanya, “Makanan apa itu?”
Saya menjawab, “Roti khais (yakni roti yang terbuat dari
kurma, minyak samin, dan keju).”
Beliau bersabda, “Bawalah kemari.”
Maka roti itu pun aku sajikan untuk beliau. Lalu beliau
makan, kemudian berkata,
قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا
“Sungguh dari pagi tadi aku puasa.”
(HR. Muslim no. 1154)
Demikian juga, hal ini juga sesuai dengan prinsip qiyas.
Yaitu, mengqiyaskan berada di tengah ibadah sunnah dengan sebelum
pelaksanaannya. Maksudnya, sebagaimana seorang mukallaf boleh memilih untuk
mulai melaksanakan ibadah sunnah ataukah tidak, demikian pula ketika mukallaf
tersebut berada di tengah-tengah pelaksanaan ibadah sunnah, dia pun boleh
memilih: apakah dia selesaikan atau dia batalkan ibadah sunnah tersebut.
Pendapat yang lebih kuat
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah dengan
memberikan rincian. Yaitu, tidak boleh membatalkan ibadah sunnah, kecuali jika
ada ‘udzur. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan janganlah kamu membatalkan amal-amalmu.”
(QS. Muhammad [47]: 33)
Sehingga tidak boleh bagi seseorang, ketika dia sudah mulai
masuk dalam mengerjakan ketaatan, kemudian dia membatalkannya, meskipun ibadah
tersebut adalah ibadah sunnah. Dikecualikan dalam masalah ini adalah ibadah
puasa sunnah, karena dua hadits yang telah disebutkan di atas. Wallahu a’lam
Posted by lightmoeslem.blogspot.com
Sumber Muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar