Orang-orang musyrik, ketika mereka diminta untuk mengucapkan
kalimat tauhid laa ilaaha illallah, mereka menolak dengan sangat keras. Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerukan kepada mereka untuk
mengucapkan“laa ilaaha illallah”, maka mereka menolak untuk mengatakan kalimat
tersebut sambil mengatakan,
أَجَعَلَ
الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ
هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ ؛ وَانْطَلَقَ
الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا
عَلَى آلِهَتِكُمْ إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ
يُرَادُ
“’Mengapa ia
menjadikan sesembahan-sesembahan itu sebagai sesembahan yang satu saja?
Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.’ Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya
berkata), ’Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) sesembahan-sesembahanmu,
sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki’.” (QS. Shaad [38]:
5-6)
Marilah kita merenungkan, mengapa kaum musyrik menolak untuk
mengatakan kalimat tersebut? Penolakan mereka untuk menyambut seruan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tersebut tidak lain adalah karena mereka memahami makna kalimat laa
ilaaha illallah tersebut dengan benar. Mereka mengetahui bahwa orang yang
mengucapkan laa ilaaha illallah, dia harus memenuhi syarat-syaratnya sebelum
mengucapkannya. Karena mereka adalah orang-orang yang mengerti bahasa Arab
dengan baik. Mereka juga memahami bahwa ketika mereka mengucapkan kalimat laa
ilaaha illallah, maka berarti dia telah bersaksi bahwa segala jenis peribadatan
mereka kepada berhala-berhala mereka adalah peribadatan yang batil. Mereka juga
harus melepaskan segala ketergantungan hati sanubari mereka kepada semua
sesembahan selain Allah Ta’ala. Dan mereka harus menujukan segala aktivitas
ibadah mereka hanya kepada Allah Ta’ala saja. Oleh karena
konsekuensi-konsekuensi itulah, mereka pun menolak untuk mengucapkan kalimat
laa ilaaha illallah. (Lihat At-Tanbihaat Al-Mukhtasharah, hal. 34)
Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman menceritakan
kisah mereka,
إِنَّهُمْ
كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
يَسْتَكْبِرُونَ ؛ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا
لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Sesungguhnya mereka
dahulu, apabila dikatakan kepada mereka, ’Laa ilaaha illallah’, mereka
menyombongkan diri. Dan mereka berkata, ’Apakah sesungguhnya kami harus
meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair gila?’” (QS.
Ash-Shafat [37]: 35-36)
Dari jawaban kaum musyrikin tersebut, terlihat jelas bahwa
mereka telah memahami bahwa makna kalimat laa ilaaha illallah menuntut mereka
untuk meninggalkan segala jenis peribadatan kepada selain Allah, dan mengesakan
Allah Ta’ala dalam seluruh aktivitas ibadah yang mereka lakukan. Seandainya
mereka mau mengucapkannya, dan di sisi lain mereka tidak mau meninggalkan sesembahan-sesembahan
mereka selain Allah Ta’ala tersebut, tentu hal ini sangatlah kontradiktif.
(Lihat Haqiqatu laa ilaaha illallah, hal. 111-114)
Bukti lain yang menunjukkan bahwa orang musyrik memahami
makna kalimat “laa ilaaha illallah” dengan benar adalah kisah meninggalnya Abu
Thalib. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu
Thalib untuk mengucapkan “laa ilaaha illallah”, maka Abu Jahal bin Hisyam dan
‘Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah yang saat itu juga berada di sisi Abu
Thalib mengatakan,
أَتَرْغَبُ
عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
“Apakah Engkau membenci agama Abdul
Muthallib?” (HR. Bukhari no. 1360 dan Muslim no. 141)
Perkataan ini menunjukkan bahwa mereka telah memahami,
apabila Abu Thalib sampai mengucapkan kalimat tersebut, maka berarti
terlepaslah dari dalam hati sanubarinya segala bentuk sekutu dan berhala, dan
menujukan ibadah semuanya hanya kepada Allah Ta’ala saja. (Lihat At-Tanbihaat
Al-Mukhtasharah, hal. 34)
Oleh karena itu, Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah
mengatakan,
”Orang kafir jahiliyyah mengetahui
bahwa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kehendaki dengan kalimat ini
(yaitu ‘laa ilaaha illallah’, pen.) adalah mengEsakan Allah Ta’ala dengan
menyandarkan hati kepada-Nya dan mengingkari serta berlepas diri dari
sesembahan selain-Nya. Buktinya, ketika dikatakan kepada mereka, ’Katakanlah
laa ilaaha illallah!’ Mereka menjawab
(yang artinya), ’Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu sebagai
sesembahan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat
mengherankan’ (QS. Shaad [38] : 5).”
(Lihat At-Taudhihat Al-Kaasyifat ‘ala Kasyfi Asy-Syubuhat, hal. 100)
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafidzahullah
menjelaskan,
”Abu Jahal pun memahami kalimat ini
(dengan benar, pen.), meskipun dia sendiri enggan untuk mengucapkannya. Apabila
maknanya adalah, “Tidak ada sesembahan selain Allah”, sebagaimana persangkaan
kebanyakan masyarakat saat ini dan masyarakat sebelum mereka, maka tentu dia
akan mengatakannya dengan mudah meskipun dia tidak memahami makna yang
terkandung di dalamnya. Akan tetapi, orang-orang musyrik jahiliyyah memahami
bahwa makna kalimat tersebut adalah, ’laa ma’buuda haqqun illallah’ [tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah] dan sesungguhnya segala
peribadatan kepada selain Allah hanyalah kezaliman.” (Lihat At-Tamhiid, hal. 78)
Orang musyrik jaman sekarang tidak paham dengan makna
kalimat tauhid
Pemahaman yang dimiliki oleh orang-orang musyrik tersebut
seolah-olah membantah apa yang dipahami oleh para pemuja kubur zaman sekarang
ini dan yang semisal dengan mereka, bahwa makna kalimat “laa ilaaha illallah”
adalah bersaksi bahwa Allah Ta’ala itu ada, atau bahwa Allah-lah Yang Maha
mencipta dan Maha mengatur segala urusan, atau makna-makna yang semisal dengan
itu. Mereka menyangka bahwa barangsiapa yang telah meyakini hal tersebut,
berarti dia telah mewujudkan tauhid dalam dirinya. Meskipun mereka juga
menujukan ibadah mereka kepada selain Allah Ta’ala, meminta kepada orang-orang
shalih yang telah mati, serta mendekatkan diri kepada mereka dengan menyembelih
dan bernadzar untuk mereka, atau mengelilingi (thawaf) kubur mereka dan mencari
berkah (tabarruk) dengannya. (Lihat Haqiqatu laa ilaaha illallah, hal. 112)
Demikianlah kondisi dan realita kaum muslimin saat ini.
Mereka memang sangat gemar untuk mengucapkan dzikir laa ilaaha illallah. Ini
memang suatu hal yang sangat baik dan terpuji, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ
الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللهُ
”Dzikir yang paling utama adalah
bacaan laa ilaha illallah.” [2]
Namun sayang, mereka tidak memiliki pemahaman yang benar
terhadap kalimat tersebut. Sehingga mereka juga melakukan berbagai hal yang
bertentangan dengan apa yang diucapkannya.
Inilah perbedaan kaum musyrik zaman dahulu dengan sekarang.
Kaum musyrik zaman dahulu, mereka memahami makna kalimat “laa ilaaha illallah”
dengan pemahaman yang benar. Sehingga mereka menolak untuk mengucapkannya
karena mengingkari makna dan konsekuensinya. Akan tetapi, kaum musyrik zaman
sekarang ini, mereka sangat gemar untuk mengucapkan dzikir “laa ilaaha
illallah”. Namun mereka tidak mengetahui dengan benar apa yang dimaksud dengan
kalimat tersebut. Sehingga di satu sisi mereka mengucapkan “laa ilaaha
illallah”, namun di sisi lain mereka juga tetap melakukan berbagai aktivitas
ibadah yang ditujukan kepada selain Allah Ta’ala. Inilah kondisi kaum muslimin
saat ini yang sangat menyedihkan bagi kita semua.
Ketika menjelaskan realita tersebut, Syaikh Muhammad
At-Tamimy rahimahullah berkata,
”Jika kamu sudah mengetahui bahwa
orang kafir jahiliyyah mengetahui yang demikian itu (bahwa laa ilaha illallah
bermakna tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, pen.), maka
sungguh sangat mengherankan di mana para da’i yang mendakwahkan Islam tidak
mengetahui tafsir (yang benar) dari kalimat ‘laa ilaha illallah’ sebagaimana
yang diketahui oleh orang kafir jahiliyyah. Bahkan mereka mengira bahwa ‘laa
ilaha illallah’ cukup diucapkan saja
tanpa perlu meyakini maknanya. Dan pakar ahli (yaitu orang-orang pintar dari
ahli kalam dan ahli bid’ah, pen.) di antara mereka pun menyangka bahwa makna
‘laa ilaha illallah’ adalah tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur
alam semesta kecuali Allah. Maka tidak ada satu pun kebaikan pada seseorang di mana
orang kafir jahiliyyah lebih mengetahui dari dirinya mengenai makna ‘laa ilaha
illallah’.” (Lihat At-Taudhihat Al-Kaasyifat ‘ala Kasyfi Asy-Syubuhat, hal.
101)
Demikianlah sangat disayangkan sekali, para cendekiawan
muslim dan para da’i yang mengajari umat tentang Islam banyak yang tidak
memahami ‘laa ilaha illallah’ sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang
musyrik. Dan kebanyakan pakar Islam sendiri –yang kebanyakan adalah ahli kalam
(ahli filsafat)- hanya memaknai kalimat ‘laa ilaha illallah’ dengan ‘tidak ada
pencipta selain Allah’, atau ‘tidak ada pengatur alam semesta selain Allah’,
atau ‘tidak ada pemberi rizki selain Allah’. Padahal tafsir tersebut hanya
terbatas pada sifat rububiyyah Allah Ta’ala saja. Lalu apa kelebihan mereka
dari orang-orang musyrik dahulu? Maka renungkanlah hal ini!
0 komentar:
Posting Komentar